Selasa, 23 Oktober 2012


PSIKOLOGI usia lanjut
10 PENYAKIT AUTOIMUN



Difo Rahman



Daftar PENYAKIT AUTOIMUN 
1.     Systemic lupus erytematosus (SLE) (kronis)
2.     Antiphospholipid syndrome (APS)
3.     Addison
4.     Seliaka
5.     Hepatitis Autoimun
6.     Alopecia areata
7.     Ankylosing Spondylitis
8.     Myasthenia Gravis
9.     Systemic Sclerosis
10.  Rheumatoid Arthritis
1.     Systemic lupus erytematosus (SLE)
http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSN9Wi-aif6iSKfBRBdXopsNP87uw11l90RALSnHe-dSwgW9QiPYQ
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem  yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem   imun   dan    produksi    autoantibodi    yang    berlebihan    (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi        oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif  yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen  yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. 
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).
Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupussystemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema  yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul  di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing              oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Penanganan SLE
1.      Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2.      Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3.      NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan  termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002).  NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan  COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,  nefrotoksik,  kulit  kemerahan,  dan  alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria  tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).

1.     ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME (APS)
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQI8DCC7vbiHAY1F93sPAP2mfD9lx6-nEKprOaNLsVsnBCCJ9-9

Adalah suatu keadaan autoimun  yang ditandai dengan produksi antibodi antiphospholipid dalam kadar sedang sampai tinggi dan dengan gambaran klinis tertentu seperti trombosis (vena maupun arteri termasuk stroke), trombositopenia autoimun dan abortus. Kemungkinan terjadinya APS lebih sering pada penderita dengan penyakit autoimun seperti SLE disebut APS sekunder, namun dapat pula terjadi pada wanita yang tidak mempunyai penyakit autoimun (APS primer).
Diagnosis
            Pemeriksaan laboratorium APS masih sulit dan membingungkan, kendalanya karena hanya sedikit laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan dengan kualitas yang baik. Pemeriksaan antibodi antiphospholipid dan lupus anticoagulant (LA) harus dilakukan bersama  berhubung karena hanya 20% penderita APS yang dengan lupus anticoagulant positif. Pada tahun 1987 telah dibuat kesepakatan pada International Anti-Cardiolipin Workshop mengenai interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium yang dilaporkan secara semikuantitatif dan dibagi menjadi, negatif, positif rendah, positif sedang dan positif tinggi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah IgG aCL, IgM aCL dan IgA aCL. Mayoritas penderita APS mempunyai LA dan IgG aCL.
Beberapa peneliti memperkirakan bahwa LA dan aCL merupakan immunoglobulin yang sama yang dideteksi dengan metode pemeriksaan yang berbeda sebab mereka menemukan bahwa pada penderita APS ditemukan salah satu dari LA atau aCL namun tidak pernah menemukan keduanya bersamaan.
Pemeriksaan lain yang ditawarkan saat ini adalah b2-glycoprotein I (b2-GPI) yang relevan dengan antigen aPL. Banyak peneliti saat ini meyakini bahwa aPL bekerja melawan glycoprotein ini atau lebih mungkin  terhadap glycoprotein ini dan phospholipid, namun belum ada bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai informasi diagnostik yang lebih baik dari pemeriksaan LA dan aCL.
Penanganan
Terapi APS ditujukan mencegah pembentukan thrombus, untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Pada wanita hamil, pemberian warfarin harus mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.
Pasien dengan antiphospholipid syndrome (APS) dapat dilakukan evaluasi dengan rawat jalan. Rawat inap diperlukan jika kondisi pasien sangat buruk, misalnya mengalami catastrophic APS. Pasien dengan CAPS perlu mendapat observasi dan pengobatan secara intensif, dan sering kali harus masuk intensive care unit (ICU). Umumnya, regimen pengobatan untuk APS harus dibuat secara individual, berdasarkan status klinis pasien dan riwayat kejadian thrombosis. Pasien asimtomatis dengan hasil pemeriksaan laboratorium positif, tidak perlu pengobatan khusus.
Antikoagulan
Tujuan pengelolaan pasien APS dengan aPL positif adalah profilaksis primer, mencegah thrombus akut dan pencegahan sekunder pembentukan bekuan darah lebih jauh. Pasien umumnya mengalami thrombosis sebagai gejala awal APS, dan pengobatan thrombosis pada pasien-pasien ini sama dengan pengobatan thrombosis umumnya. Terdiri dari terapi farmakologis dan meminimalisasi faktor risiko, seperti imobilisasi, merokok, penggunaan pil kontrasepsi dan sebagainya.
Pasien dengan thrombosis vena, awalnya diobati dengan heparin (sebagian besar dengan low molecular-weight heparin) diikuti dengan coumadin. Penelitian retrospektif melaporkan bahwa kekambuhan thrombosis tinggi, berkisar dari 22 - 69%, dan lebih dari 70% pada pasien dengan thrombosis vena dan 90% kemungkinan bekuan darah di arteri muncul kembali. Jika bekuan darah ada di pembuluh darah arteri, pasien dapat mengalami stroke dan transient ischemic attacks.
Karena itu, pasien perlu mendapat antikoagulasi jangka panjang. Namun, durasi dan intensitas pemberian terapi ini masih dipertanyakan. Penelitian-penelitian yang membandingkan antikoagulan dengan intensitas moderat (international normalized ratio [INR] 2–3) dan intensitas tinggi (INR 3–4), menghasilkan perlindungan terhadap pembentukan bekuan darah yang serupa.
Pada thrombosis vena, target INR antara 2 dan 3, sedangkan pada thrombosis arteri targetnya adalah 3. Jika pasien mengalami thrombosis berulang, INR harus ditingkatkan menjadi 3–4, dan aspirin dosis rendah 81 sering ditambahkan. Risiko perdarahan harus diperhatikan. Berdasar penelitian prospektif di Italia, angka perdarahan yang dapat mengancam jiwa pada pasien yang menggunakan warfarin adalah 0,25% setiap tahunnya, meningkat secara bertahap ketika INR melebihi 4.
Namun, risiko perdarahan tidak lebih besar pada pasien APS yang menggunakan antikoagulan, dibanding penyakit lain. Kenyataannya, Ruiz-Irastorza dan kawan-kawan memperlihatkan bahwa jarang terjadi perdarahan serius, ketika menggunakan antikoagulan intesitas tinggi dengan target INR sebesar 3,5. Keterbatasan penelitian ini, populasi pasien yang dilibatkan berusia muda dengan APS primer atau terkait SLE. Sementara jika melibatkan pasien berusia lanjut, risiko perdarahan lebih besar.
Dikenal dengan baik bahwa beberapa pasien bisa mengalami gejala sub klinis, bahkan tanpa gejala dan dapat memiliki risiko thrombosis tahunan 0-3,8%. Pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami pembekuan darah, karena memiliki faktor-faktor protrombotik, yang meliputi merokok, menggunakan pil kontrasepsi mengandung estrogen, menjalani operasi dalam 3 bulan terakhir, imobilitas dan menggunakan obat, seperti kokain. Sebab itu, dianjurkan untuk meminimalkan faktor-faktor risiko ini. Terapi profilaksis dengan antikoagulan harus dipertimbangkan, saat berada dalam risiko tinggi.
Erkan dan kawan-kawan membandingkan aspirin dengan placebo, untuk pencegahan primer pada APS dan tidak menemukan perbedaan dalam kejadian thrombosis. Sebab itu, risiko yang dimiliki pasien harus distratifikasi berdasarkan faktor risiko kardiovakular dan non kardiovaskular, sebelum memberikan aspirin.
Yang terakhir, pasien dapat mengalami oklusi pada berbagai pembuluh darah dalam waktu pendek, ketika titer antibodi aPL tinggi (CAPS). Sekitar 250 kasus CAPS dilaporkan dalam berbagai publikasi. Pada tahun 2000, suatu registri internasional di Eropa dibuat. Kasus CAPS sebanyak 1% dari semua kasus APS, dan pasien harus memenuhi kriteria diagnostik sebagai berikut:
  • Mengalami keterlibatan tiga atau lebih organ
  • Mengalami manifestasi dalam 1 ming- gu atau kurang
  • Dikonfirmasikan secara histopatologi adanya oklusi pembuluh darah kecil, pada setidaknya satu organ
  • Hasil laboratorium mengonfirmasi adanya aPL (LAC atau aCL)
Wanita lebih mudah mengalami CAPS daripada pria (rasio 2,5:1), dan pasien biasanya mengalami kejadian thrombosis yang sering mendahului terjadinya oklusi multiple. Secara klinis, pasien mengalami gangguan multiorgan dan ginjal (70% pasien dalam registry CAPS), Paru (65%), sistim saraf pusat (55%), jantung (50%) dan saluran cerna (44%). Trombositopenia dilaporkan pada 46% pasien CAPS, LAC dan aCL ditemukan pada 79 dan 86%, secara berurutan, dan antibody antinuklir positif pada 48% kasus. Angka mortalitas cukup tinggi pada pasien CAPS, dan terjadi pada 47% pasien, di mana kejadian jantung mendominasi.
Beberapa mekanisme patogenik terlibat dalam CAPS, dan sel endotel dilaporkan terlibat di dalam patogenesisnya. Diyakini bahwa sitokin, produk pelengkat teraktifasi dan otoantibodi berinteraksi dengan sel endotel dan meng-up regulasi prokoagulasi dan kelekatan endotel. Sitokin seperti IL-1, IFN-alfa dan TNF-alfa tampak merupakan mediator penting, dari aktifasi endotel. Sel endotel juga dapat menghasilkan sitokin, seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-alfa, yang mengup regulasi ekspresi molekul adhesi. Selain itu, faktor pelengkap terlibat dan mengaktifkan molekul adhesi di endothelium, yang membuat pasien mengalami CAPS. Terakhir, otoantibodi, seperti aPL, sel antiendotelial dan anti-dsDNA, dibuktikan berinteraksi dengan sel-sel endotel secara in vitro dan meng up regulasi molekul adhesi dan tissue factor (TF).
Tidak ada konsensus untuk pengobatan CAPS, karena belum ada penelitian multi senter berskala besar. Terapi yang ada saat ini, berdasarkakan penelitian case series berskala kecil. Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah progresi thrombosis dan membatasi produksi dan sirkulasi mediator inflamasi. Karenanya, pengobatan terdiri dari terapi multimodal, dari antikoagulasi sampai imunosupresan, seperti kortikosteroid atau agen sitotoksik seperticyclophosphamide, dan sampai plasmapheresis dan immunoglobulin intravena.
Agen antiplatelet
Terapi antiplatelet, seperti aspirin, klopidogrel dan dipyridamole telah digunakan untuk pencegahan sekunder pada pasien dengan stroke dan transient ischemic attacks. Kaul dan kawan-kawan mempublikasikan penelitian kecil, terhadap delapan pasien yang tidak pernah mendapatkan warfarin, dan diobati dengan antiplatelet dan menemukan satu kekambuhan stroke saat menggunakan klopidogrel. Sekali lagi, manfaat dan risiko harus dipertimbangkan, ketika berencana menggunakan terapi antiplatelet.

1.     Penyakit Addison
http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQXmW6zuI-S2rcwlrJ83wG8xPYa9ijgyIZsYgF9TNDXNJBmEzu7
Penyakit Addison adalah hipofungsi kronik korteks adrenal primer akibat dari kerusakan pada korteks adrenal. (Cermin Dunia Kedokteran No. 39) . Penyakit Addison adalah penyakit yang terjadi akibat fungsi korteks tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasienakan hormon-hormon korteks adrenal. (Soediman, 1996 ). Penyakit Addison adalah lesi kelenjar primer karena penyakit destruktif atau atrofik, biasanya autoimun atau tuberkulosa. (Baroon, 1994)
Penyakit Adison merupakan penyakit yang jarang terjadi di dunia. Di Amerika Serikat tercatat 0,4 per 100.000 populasi. Dari Bagian Statistik Rumah Sakit Dr. Soetomo pada tahun 1983, masing-masing didapatkan penderita penyakit Addison. Frekuensi pada laki-laki dan wanita hampir sama. Menurut Thom, laki-laki 56% dan wanita 44% penyakit Addison dapat dijumpai pada semua umur, tetapi lebih banyak ter- dapat pada umur 30 – 50 tahun .Pada bayi dan anak, penyakit Addison mungkin disebabkan oleh kelainan genetik kelenjar adrenalin. 
Kekurangan adrenal sekunder adalah masa yang diberikan pada penyakit yang menyerupai penyakit Addison. Pada penyakit ini, kelenjar adrenalin kurang aktif karena kelenjar di bawah otak tidak merangsang mereka, bukan karena kelenjar adrenalin sudah hancur atau dengan cara lain langsung gagal. 
Ketika kelenjar adrenalin menjadi kurang aktif, mereka cenderung memproduksi hormon adrenal dengan jumlah yang tidak cukup sama sekali. Dengan begitu, penyakit Addison mempengaruhi keseimbangan air, sodium, dan kalium di badan, serta kemampuan badan untuk menguasai tekanan darah dan bereaksi terhadap tekanan. Selain itu, kehilangan androgen, seperti Dehydroepiandrosterone (DHEA), mungkin menyebabkan kehilangan rambut di badan wanita. Pada laki-laki, testosterone dari testes dibuat lebih untuk kehilangan ini. DHEA mungkin mempunyai efek tambahan yang tidak berhubungan dengan androgen. 
Ketika kelenjar adrenalin dihancurkan oleh infeksi atau kanker, medulla adrenal dan sumber epinephrine hilang. Tetapi, kehilangan ini tidak menyebabkan gejala.  Kekurangan aldosterone secara khusus menyebabkan badan mengeluarkan sodium yang banyak dan mempertahankan kalium, menyebabkan kadar sodium rendah dan kadar kalium tinggi di darah. Ginjal tidak dapat menahan air kencing, oleh sebab itu waktu penderita penyakit Addison minum terlalu banyak air atau kehilangan terlalu banyak sodium, kadar sodium di darah turun. Ketidakmampuan untuk menahan air kencing pada akhirnya membuat orang kencing secara berlebihan dan menjadi dehidrasiDehidrasi hebat dan kadar sodium yang rendah mengurangi volume darah dan bisa menyebabakn shock
Kekurangan kortikosteroid menyebabkan sensitivitas yang ekstrim pada insulin sehingga kadar gula darah dapat turun hingga berbahaya (hypoglycemia). Kekurangan tersebut mencegah badan memproduksi karbohidrat dari protein, melawan infeksi dengan semestinya, dan mengontrol radang. Otot menjadi lemah, dan jantung pun bisa menjadi lemah dan tak dapat memompakan darah secara memadai. Kemudian, tekanan darah mungkin menjadi rendah yang berbahaya.

Orang dengan penyakit Addison tidak dapat menghasilkan kortiksteroid tambahan sewaktu mereka stress. Mereka oleh karena itu rentan terhadap gejala dan komplikasi serius kalau dihadapkan dengan penyakitnya, kepenatan yang berlebih, luka hebat, pembedahan, atau, mungkin, stress psikologis yang hebat. 
Pada penyakit Addison, kelenjar di bawah otak menghasilkan lebih banyak corticotropin di dalam usaha untuk merangsang kelenjar adrenalin. Corticotropin juga merangsang produksi melanin, oleh sebab itu kulit dan garis sepanjang mulut sering terbentuk pigmentasi yang gelap. 
GEJALA :

Segera sesudah penyakit Addison terjadi, orang merasa lemah, lelah, dan pusing kalau berdiri sesudah duduk atau berbaring. Masalah ini mungkin berkembang lambat laun dan tak kentara. Orang dengan penyakit Addison memiliki spot kulit yang gelap. Kegelapan mungkin nampaknya seperti karena sinar matahari, tetapi tampak pada kulit yang terpapar matahari secara tidak merata. Orang dengan kulit gelap pun bisa mengalami pigmentasi yang berlebihan, walaupun perubahan lebih sukar untuk diketahuii. Bintik-bintik hitam mungkin berkembang di balik dahi, muka, dan bahu, dan seorang kulit hitam kebiru-biruan pemudaran warna mungkin terjadi di seputar puting susu, bibir, mulut, dubur, kantung kemaluan, atau vagina. 
Kebanyakan orang kehilangan berat badan, menjadi dehidrasi, tidak mempunyai selera makan, dan berkembang manjadi sakit otot, mual, muntah, dan diare. Banyak menjadi tidak dapat mentolerir dingin. Kecuali kalau penyakit hebat, gejala cenderung menjadi nyata hanya selama stress. Periode hypoglycemia, dengan kecemasan dan sangat kelaparan untuk makanan asin, bisa terjadi, teristimewa pada anak. 
Jika penyakit Addison tidak diobati, nyeri abdominal yang hebat, kelemahan yang sangat, tekanan darah yang teramat rendah, kegagalan ginjal, dan shock mungkin terjadi (krisis adrenal). Krisis adrenal sering terjadi jika badan mengalami tekanan, seperti kecelakaan, luka, pembedahan, atau infeksi hebat. Kematian dengan cepat mungkin mengikuti. 
DIAGNOSA :
Karena gejala mungkin mulainya dengan lambat dan tak kentara, dan karena tak ada satu tes laboratorium yang memberi hasil pasti pada stadium awal, dokter sering tidak mencurigai penyakit Addison pada awalnya. Kadang-kadang stress besar membuat gejala lebih nyata dan menimbulkan krisis. 
Pemeriksaan darah mungkin memperlihatkan kadar sodium rendah dan kalium tinggi dan biasanya menunjukkan bahwa ginjal tidak berfungsi dengan baik. Dokter yang mencurigai penyakit Addison mengukur kadar cortisol yang mungkin rendah, dan kadar corticotropin yang mungkin tinggi. Tetapi, dokter mungkin perlu menegaskan diagnosanya dengan mengukur kadar cortisol terlebih dahulu setelah pemberian satu injeksi corticotropin. Jika kadar cortisol rendah, tes lebih jauh diperlukan untuk memutuskan jika masalah adalah penyakit Addison atau kekurangan adrenal sekunder.
PENGOBATAN
Tanpa memperhatikan penyebabnya, penyakit Addison bisa mengancam hidup dan harus diobati dengan kortikosteroid dan cairan infuse ke dalam pembuluh darah. Biasanya, pengobatan bisa dimulai dengan hydrocortisone atau prednisone (kortikosteroid buatan) dengan pemberian oral. Tetapi, orang yang sakitnya parah perlu diberi cortisol dengan infus atau intramuskuler pada awalnya dan lalu tablet hydrocortisone. Karena tubuh biasanya menghasilkan cortisol paling banyak di pagi hari, pemberian hydrocortisone juga sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi, dengan dosis yang paling besar di pagi hari. 

Hydrocortisone harus diminum setiap hari sepanjang hidup penderita. Dosis hydrocortisone yang lebih besar diperlukan kalau tubuh stress, khususnya sakit, dan mungkin perlu untuk diberikan melalui injeksi jika orang mengalami diare hebat atau muntah. 

Kebanyakan orang juga perlu untuk minum tablet fludrocortisone setiap hari untuk membantu tubuh mengeluarkan secara normal sodium dan kalium. Testosterone tambahan biasanya tidak diperlukan, walaupun ada beberapa bukti bahwa penggantian dengan DHEA memperbaiki kualitas kehidupan. Walaupun pengobatan harus dilakukan seumur hidup, prognosisnya baik.

Pada orang yang menerima dosis besar corticosteroids, seperti prednisone, fungsi kelenjar adrenalin bisa tertekan. Tekanan ini terjadi karena dosis besar corticosteroids mencegah hypothalamus dan kelenjar di bawah otak yang menghasilkan hormon biasanya merangsang fungsi adrenal. Jika orang dengan tiba-tiba berhenti minum kortikosteroid, badan tidak bisa memulihkan fungsi adrenal dengan cukup cepat, dan sementara membuat kekurangan adrenal (kondisi mirip penyakit Addison). 

Juga, kalau stress terjadi, tubuh tidak dapat merangsang produksi kortikosteroid tambahan yang diperlukan. Oleh karena itu, dokter tidak pernah menghentikan penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba jika orang sudah minum obat lebih dari 2 atau 3 minggu. 

Sebaliknya, dokter secara perlahan mengurangi (memperkecil) dosis dalam beberapa minggu dan kadang-kadang beberapa bulan. Juga, dosis mungkin perlu ditambahkan pada penderita yang menjadi sakit atau karena hala lain mengalami stess yang parah sewaktu minum kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid mungkin perlu dilanjutkan pada orang yang menjadi sakit atau mengalami stress yang parah dalam beberapa minggu sewaktu dosis kortikosteroid yang diperkecil atau dihentikan. 

. Seliaka
            Seliaka adalah gangguan autoimun dari usus kecil yang terjadi pada orang genetik cenderung dari segala usia dari bayi dan seterusnya tengah. Gejala termasuk diare kronis, gagal tumbuh (pada anak), dan kelelahan, tetapi mungkin tidak ada, dan gejala pada sistem organ lainnya telah dijelaskan. Sebagian pertumbuhan diagnosis sedang dilakukan pada orang tanpa gejala sebagai akibat dari skrining meningkat.
Seliaka ini disebabkan oleh reaksi terhadap gliadin, sebuah prolamin (protein gluten) ditemukan dalam gandum, dan protein serupa yang ditemukan dalam tanaman dari suku
Triticeae (yang termasuk kultivar lainnya seperti barley dan gandum). Setelah paparan gliadin, dan prolamins tertentu lainnya, yang transglutaminase jaringan enzim memodifikasi protein, dan sistem kekebalan tubuh bereaksi silang dengan jaringan usus kecil, menyebabkan reaksi inflamasi. Yang mengarah pada truncating dari vili usus kecil lapisan (disebut atrofi vili). Hal ini mengganggu penyerapan nutrisi, karena vili usus bertanggung jawab untuk penyerapan.
Pengobatan yang efektif hanya diketahui adalah diet bebas gluten seumur hidup. Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh reaksi terhadap protein gandum, itu tidak sama dengan alergi gandum.
Kondisi ini memiliki beberapa nama lain, termasuk: penyakit seliaka (dengan''Å“ ligatur''), c (o) eliac sariawan, non-tropis sariawan, sariawan endemik, enteropati gluten atau gluten-sensitif enteropati, dan intoleransi gluten. Para''''celiac Istilah berasal dari bahasa Yunani κοιλιακός (''''koiliakÏŒs, "perut"), dan diperkenalkan pada abad ke-19 dalam terjemahan dari apa yang umumnya dianggap sebagai penjelasan Yunani kuno penyakit dengan Aretaeus dari Cappadocia.

Hepatitis autoimun
http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQKs-9QPXGHjCsuF2g3UJm__JjsSgbCN3_u2OHhyQSPmcf1e3Xe http://www.meddean.luc.edu/lumen/meded/orfpath/images/9-1-4.jpg
            Hepatitis autoimun (AIH), yang dahulu disebut sebagai lupoid hepatitis atau hepatitis kronik autoimun, adalah suatu gangguan hati kronis nekroinflamatori yang belum diketahui penyebabnya, dengan karakteristik secara histologik berupa infiltrasi sel mononuklear di saluran portal dan secara serologis adanya autoantibodi terhadap antigen hati yang spesifik dan yang tidak spesifik serta adanya peningkatan kadar immunoglobulin G (igG) serum (Krawitt, 1996;Sukerek, 2002).
Hepatitis autoimun merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya kematian sel hati, pembentukan jaringan ikat yang disertai pembentukan benjolan. Hal ini dapat menyebabkan gangguan aliran darah ke hati dan mengganggu fungsi hati. Sistem kekebalan tubuh biasanya membuat antibodi untuk menyerang bakteri, virus, dan kuman lainnya. Pada hepatitis autoimun,sistem kekebalan tubuh membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan kerusakan dan sirosis.
 Penyebab dari hepatitis autoimun tidak diketahui. Beberapa agen diperkirakan dapat dianggap sebagai pencetus terjadinya proses autoimun pada hepatitis autoimun antara lain virus, bakteri, bahan kimia, obat, dan faktor genetik. Semua virus hepatotropik dapat dianggap sebagai pencetus hepatitis autoimun, termasuk virus measles, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, herpes simpleks tipe 1 dan virus Epstein-Barr(Manns,1995;Manns,1999)
Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Suatu model spekulatif dari imunopatogenesis hepatitis autoimun menunjukkan bahwa secara genetik, infeksi virus pada hati yang bersifat hepatotropik atau non-hepatotropik mengakibatkan suatu respon sel T yang menyebabkan hepatotoksisitas dan menstimulasi respon sel B terhadap virus-mediated surface neoantigens. Selanjutnya NK cells dan MHC-unrestricted CD8+ killer cells akan mengenali dan membunuh autoantibody-coated liver cells oleh antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC), sehingga terjadi apoptosis hepatosit (Mabee, 2000).
Bukti menyebutkan bahwa kerusakan hati pada penderita dengan hepatitis autoimun merupakan hasil dari serangan cell mediated autoimun. Serangan ini ditujukan pada hepatosit yang secara genetik mudah terpengaruh/rentan. Gambaran aneh dari human leukocyte antigen (HLA) kelas 2 pada permukaan hepatosit memfasilitasi presentasi sel hati normal dipilih untuk proses antigen sel. Aktivasi sel ini , secara bergiliran, menstimulasi ekspansi klonal dari autoantigen-sensitized cytotoxic T lymphocytes. T limfosit sitotoksik menginfiltrasi jaringan hati, mengeluarkan cytokines dan merusak sel hati (Raghuraman, 2002).
Penyebab dari gambaran aneh dari HLA masih belum jelas. Ini mungkin dicetuskan oleh faktor genetik, infeksi virus (mis. hepatitis akut A atau B, virus Epstein-Barr) dan bahan kimia (mis. interferon, melatonin, alfa metildopa, oksifenisatin, nitrofurantoin, asam tienilik). Reseptor asialoglikoprotein dan sitokrom mono-oksigenase P-450 IID6 ditengarai sebagai pencetus autoantigen (Raghuraman, 2002).
Pendapat terbaru tentang mekanisme kerusakan hati autoimun adalah secara tak langsung melibatkan interaksi antara CD4+ T limfosit dengan suatu self-antigenic peptide (Sukerek, 2002).
Beberapa penderita secara genetik rentan untuk menjadi hepatitis autoimun. Kondisi ini berhubungan dengan komplemen alel C4AQO dan HLA halotipe B8, B14, DR3, DR4 dan Dw3. Delesi gen C4A dihubungkan dengan timbulnya hepatitis autoimun pada usia muda. Penderita dengan HLA DR3 positif lebih sering menjadi penyakit agresif, terjadi pada usia yang lebih muda, kurang responsive terhadap terapi medik sehingga lebih sering memerlukan tranplantasi hati. Sedangkan pada penderita dengan HLA DR4 positif lebih sering timbul dengan manifestasi ekstrahepatik (Raghuraman, 2002;Sukerek, 2002).
Secara genetik juga dilaporkan tentang defiensi C4 parsial. C4 diketahui berperan pada netralisasi virus. Kegagalan mengeliminasi virus dapat menyebabkan terjadinya reaksi imun melawan antigen pada sel yang terinfeksi. Diantara virus-virus yang dapat mencetuskan reaksi ini adalah rubella, Epstein-Barr dan hepatitis A,B dan C (Sukerek, 2002).
Obat-obatan juga dapat mencetuskan terjadinya hepatitis autoimun. Namun tak satupun obat yang diidentifikasi sebagai penyebab hepatitis autoimun (Manns, 1999).
Gejala
Hepatitis autoimun memiliki kecenderungan menimbulkan ciri-ciri yang berbeda pada tiap orang yang menderitanya. Pada mereka yang mengalami gejala ringan, kecil kemungkinannya berkembang menjadi sirosis hati. Pada penderita hepatitis autoimun yang berat, sekitar 40 % penderita mengalami kematian dalam waktu 6 bulan jika tidak diobati. Untungnya, keadaan yang parah hanya terjadi 20 % dari kasus yang terjadi. Penderita yang mengalami hepatitis autoimun yang ringan biasanya akan sembuh spontan. Sedangkan mereka yang mengalami perkembangan menjadi sirosis hati akan menimbulkan komplikasi yang lain yaitu kanker hati.
Gejala yang ditimbulkannya mirip dengan gejala hepatitis virus kronis. Gejala yang timbul perlahan-lahan atau mendadak tiba-tiba yang awalnya mirip hepatitis akut. Hepatitis autoimun ini terbagi atas beberapa kelompok yang berbeda, yaitu:
    1. Hepatitis autoimun tipe I, mirip penyakit lupus. Pada pemeriksaan darah ditemukan ANA dan peningkatan kadar globulin. Sering dijumpai pada wanita muda hingga usia pertengahan dengan keluhan lesu, hilangnya nafsu makan, jerawat, nyeri sendi dan kuning.

    2. Hepatitis autoimun tipe II, biasanya pada anak-anak dan sering dijumpai pada penduduk di daerah Mediterania. Pada kelainan tipe ini, dijumpai anti-LKM antibodi pada tubuh penderita. Hepatitis autoimun tipe II terbagi lagi atas 2 golongan, yang pertama berdasarkan reaksi autoimun ( IIa ) dan yang lainnya (IIb) adalah reaksi autoimun yang berkaitan dengan hepatitis C.
a.       Tipe IIa banyak ditemukan pada wanita muda. Pada kelainan ini ditemukan peningkatan    kadar globulin di dalam darah penderita dan memberikan respon yang baik terhadap steroid.
b.      Tipe IIb, tipe ini berkaitan dengan infeksi hepatitis C ; cenderung terjadi pada pria-pria berusia lanjut dan sering ditemukan di negara-negara di daerah Mediterania. Pada tipe ini, kadar globulin darah normal dan memberikan respons yang baik terhadap interferon.
Selain itu ada beberapa gejala lainnya yang timbul pada wanita muda penderita hepatitis autoimun, diantaranya adalah:
  • jerawat.
  • terhentinya siklus menstruasi(amenorea).
  •  nyeri sendi.
  •  pembentukan jaringan parut di paru-paru.
  •  peradangan kelenjar tiroid dan ginjal.
  • Anemia
Pengobatan
Secara umum, kerusakan sel-sel hati tidak dapat direhabilitasi. Tujuan pengobatan adalah mencegah pembentukan jaringan parut hati lebih lanjut, atau memperlambat kerusakan sel-sel hati. Sirosis cenderung semakin memburuk jika penyebab yang mendasari tetap ada.  Oleh karena itu perlu upaya untuk memperlambat atau menghentikan penyebab sirosis, misalnya:
  • Tidak minum alkohol jika alkohol adalah penyebabnya.
  • Pengobatan untuk mengendalikan virus hepatitis.
  • Steroid atau obat penekan kekebalan lainnya untuk mengobati penyakit autoimun menyebabkan kerusakan hati.
  • Penghapusan kelebihan zat besi yang terjadi pada hemokromatosis.
Berbagai pengobatan mungkin disarankan, tergantung pada tingkat keparahan sirosis dan gejala yang berkembang, antara lain:
  • Diet rendah natrium atau diuretik untuk mengurangi cairan yang terakumulasi dalam tubuh.
  • Obat untuk mengurangi gatal.
  • Obat-obatan yang dapat membantu mengurangi hipertensi portal.
  • Pengurangan cairan yang menumpuk di perut (ascites).
Bila pasien mengalami perdarahan usus sehingga muntah darah, atau mengeluarkan darah melalui tinja, atau tinja menjadi hitam, dokter mungkin akan segera melakukan tindakan untuk mengatasinya. Berbagai teknik bedah dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi risikonya lebih lanjut.
Dalam kasus yang parah di mana jaringan parut meluas dan hati nyaris tidak bisa berfungsi, maka transplantasi hati mungkin adalah satu-satunya pilihan.

Alopecia Areata
http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS7ij_1hl4Tq7cyQlHMtgLTfbC-VJnuieaNuAfr1LRrkXE6qT54
            Kata alopecia sendiri dalam dunia kedokteran bermakna secara umum untuk menyebut (kondisi) kebotakan. Ketika rambut tiba-tiba rontok (biasanya pada kulit kepala), mungkin saja itu adalah alopecia areata. Biasanya bentuknya terlokalisir pada sebuah atau lebih area yang umumnya membentuk lingkaran kulit kepala yang bersih dari rambut, dan tidak ada tanda-tanda kelainan spesifik lain yang tampak kasat mata, termasuk tidak nyeri ataupun gatal. Jika ada kelainan lain yang tampak, mungkin saja itu bukan alopecia areata.
Tentu saja ada sejumlah jenis alopecia areata, namun semua adalah kondisi yang didapatkan dan tidak bersifat menular. Kadang selain pada kulit kepala, mengenai juga rambut pada daerah lain yang lebih jarang terjadi atau disadari, seperti pada bulu dan alis mata, rambut pubis (sekitar kemaluan), atau rambut di lipatan ketiak.
Umumnya jarang terjadi pada usia sebelum 3 tahun, meski bisa terjadi pada semua usia. Dan paling sering pada anak-anak usia 5-12 tahun, atau pada dewasa usia antara 30 sampai 60 tahun.
Meski lebih sering hanya mempengaruhi area tertentu pada kulit kepala, namun dapat terjadi (meskipun jarang) seseorang akan kehilangan rambut pada seluruh kepalanya (alopecia areata totalis) atau pada seluruh tubuh (alopecia areata universalis).
Penyebab alopecia areata tidak diketahui secara jelas, namun setidaknya sejumlah hipotesis menunjukkan antara kondisi imunitas (autoimunitas) serta keturunan memiliki kemungkinan terlibat di dalam proses terjadinya.
Kecurigaan karena faktor keturunan disebabkan oleh ditemukannya frekuensi munculnya alopecia areata cenderung lebih tinggi pada keluarga yang memiliki riwayat serupa. Beberapa penelitian genetika sedang dilangsungkan untuk menemukan hubungan genetik munculnya kondisi ini pada seseorang – terutama penelitian yang terfokus pada human leukocyte antigen dan gen interleukin 1 receptor agonist.
Hipotesis yang paling didukung adalah kondisi autoimun yang menyebabkan terjadinyaalopecia areata. Proses alopecia areata tampaknya dimediasi oleh sel-T, dan antibodi yang diarahkan menuju struktur folikel (akar) rambut juga sering ditemukan. Sehingga diduga, sistem pertahanan tubuh kita sendiri telah menyerang folikel rambut dan mengganggu pertumbuhan rambut normal. Karena hal ini, alopecia areata sering dihubungkan dengan kondisi autoimun lainnya seperti kelainan alergi, penyakit tiroid, vitiligo, lupus, artritis reumatoid dan kolitis ulseratif.
Diagnosis :
alopecia areata umumnya sangat mudah, karena karakteristiknya yang khas. Pun demikian alopecia areata masih memiliki sejumlah diagnosis banding lainnya seperti alopecia andorgeneticpsudopeladesyphilistelogen effluviumtinea capitis, atau trichotillomania. Dan jika diagnosis dan kecurigaan alopecia areata masih belum bisa dipastikan, pemeriksaan biopsi mungkin akan disarankan, namun sangat jarang sampai diperlukan.
Ada kecenderungan di mana kondisi alopecia areata akan sembuh secara spontan, sehingga terapi/pengobatan tidaklah selalu dimandatkan. Dan secara umum, alopecia areata saat ini bukanlah suatu kondisi yang dapat disembuhkan, namun dapat diobati sedemikian hingga membantu rambut tumbuh kembali.
Pengobatan / Perawatan
Pilihan terapi untuk alopecia areata yang umum adalah menggunakan kortikosteroid, obat anti-peradangan yang diresepkan untuk penyakit autoimun. Bentuknya bisa beragam, bisa melalui suntikan, pil, atau krim. Respons terapinya akan memerlukan waktu bertahap. Obat lain yang mungkin digunakan adalah rogaine (minoxidil), biasanya akan memerlukan waktu sekitar 12 minggu sebelum rambut mulai tumbuh, dan hasil terapinya bisa jadi mengecewakan.
Karena alopecia areata tidak dapat diprediksi kemunculannya, serta kondisi yang memperburuknya. Kondisi ini tidak selalu bisa kembali dengan sendirinya, bahkan mungkin berkembang ke arah bentuk totalis atau universalis.
Temui dokter atau spesialis kulit dan kelamin untuk mendapatkan informasi, penjelasan dan bantuan lebih lanjut jika Anda mengalami kondisi ini. Dan karena alopecia areatajuga bisa memunculkan isu psikososial akibat stres psikologis pada penampilan yang ditimbulkan, seseorang mungkin akan mengalami fobia sosial, kecemasan, atau depresi, berkonsultasi dengan psikiater dapat membantu Anda mengatasi situasi ini jika mengalaminya.

Ankylosing Spondylitis
http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSmkZqa9JnYwgsE84h9TaJe9GTHFmhAh-4EMcuBNG5cfNk0nDSBDA
Ankylosing spondylitis adalah bentuk peradangan kronis dari tulang belakang (spine) dan sendi-sendi tulang sacroiliac (sacroiliac joints). Sacroiliac joints berlokasi pada belakang bawah dimana sakrum (tulang kelangkang, tulang yang tepat berada diatas tulag ekor) bertemu tulang-tulang ilium (tulang-tulang yang berada di kedua sisi dari bokong atas). Peradangan kronis pada area-area ini menyebabkan nyeri dan kekakuan dalam dan sekitar tulang belakang (spine). Dengan berjalannya waktu, peradangan spine yang kronis (spondylitis) dapat menjurus pada suatu penyatuan bersama sepenuhnya (fusion) dari vertebra-vertebra, proses yang dirujuk sebagai ankylosis. Ankylosis menjurus pada kehilangan mobilitas dari tulang belakang (spine).
Ankylosing spondylitis adalah juga suatu penyakit rematik sistemik, yang berarti ia dapat mempengaruhi jaringan-jaringan lain diseluruh tubuh. Karena itu, ia dapat menyebabkan peradangan atau luka pada sendi-sendi tulang lain yang jauh dari spine, begitu juga pada organ-organ lain, seperti mata-mata, jantung, paru-paru, dan ginjal-ginjal. Ankylosing spondylitis berbagi banyak ciri-ciri dengan beberapa kondisi-kondisi arthritis lain, seperti psoriatic arthritis, reactive arthritis, danarthritis yang berhubungan dengan penyakit Crohn dan radang borok usus besar (ulcerative colitis). Setiap dari kondisi-kondisi arthritis ini dapat menyebabkan penyakit dan peradangan pada spine, sendi-sendi tulang lain, mata-mata, kulit, mulut, dan beragam organ-organ. Mengingat bahwa persamaan dan kecenderungan mereka menyebabka peradangan dari spine, kondisi-kondisi ini secara kolektif dirujuk sebagai "spondyloarthropathies".
Ankylosing spondylitis adalah dua sampai tiga kali lebih umum pada pria-pria daripada pada wanita-wanita. Pada wanita-wanita, tulang-tulang sendi yang berjauhan dari spine lebih sering dipengaruhi daripada pada pria-pria. Ankylosing spondylitis mempengaruhi semua kelompok umur, termasuk anak-anak. Umur yang paling umum timbulnya gejala-gejala adalah di dekade kedua dan ketiga dari kehidupan.
Penyebab :
Kecenderungan mengembangkan ankylosing spondylitis dipercayai adalah diwariskan secara genetik, dan mayoritas (hampir 90%) dari pasien-pasien dengan ankylosing spondylitis dilahirkan dengan gen HLA-B27. Tes-tes darah telah dikembangkan untuk mendeteksi marker gen HLA-B27 dan telah memajukan pengertian kita tentang hubungan antara HLA-B27 dan ankylosing spondylitis. Gen HLA-B27 tampaknya hanya meningkatkan kecenderungan mengembangkan ankylosing spondylitis, dimana beberap faktor-faktor tambahan, mungkin lingkungan, adalah perlu untuk timbulnya penyakit atau menjadi jelas. Contohnya, ketika 7% dari populasi Amerika mempunyai gen HLA-B27, hanya 1% dari populasi yang benar-benar mempunyai penyakit ankylosing spondylitis. Di bagian utara Skandinavia (Lapland), 1.8% dari populasi mepunyai ankylosing spondylitis sedangkan 24% dari populasi umum mempunyai gen HLA-B27. Bahkan diantara individu-individu yang positif HLA-B27, risiko mengembangkan ankylosing spondylitis tampaknya lebih jauh berhubungan dengan keturunan. Pada individu-individu yang positif HLA-B27 yang mempunyai saudara-saudara dengan penyakit ini, risiko mereka mengembangkan ankylosing spondylitis adalah 12% (enam kali lebih besar daripada mereka yang saudara-saudaranya tidak mempunyai ankylosing spondylitis).
Akhir-akhir ini, dua lagi gen-gen telah diidentifikasikan yang berkaitan dengan ankylosing spondylitis. Gen-gen ini disebut ARTS1 dan IL23R. Gen-gen ini tampaknya memainkan peran dalam mempengaruhi fungsi imun. Diantisipasikan bahwa dengan mengerti efek-efek dari setiap dari gen-gen yang diketahui ini, peneliti-peneliti akan membuat kemajuan-kemajuan yang signifikan dalam menemukan penyembuhan untuk ankylosing spondylitis.
Bagaimana peradangan terjadi dan menetap pada organ-organ dan sendi-sendi tulang yang berbeda pada ankylosing spondylitis adalah persoalan dari penelitian yang aktif. Setiap individu cenderung mempunyai pola unik kehadiran dan aktivitas dari penyakit mereka sendir. Peradangan awal mungkin adalah akibat dari aktivitas dari sistim imun tubuh oleh infeksi bakteri atau kombinasi dari kuman-kuman infeksi. Sekali diaktifkan, sistim imun tubuh menjadi tidak mampu untuk memadamkannya sendiri, meskipun infeksi bakteri awal mungkin telah hilang lama. Peradangan jaringan yang kronis yang berakibat dari aktivitas yang terus menerus dari sistim imun tubuh pada ketidakhadiran dari infeksi yang aktif adalah tanda dari penyakit peradangan autoimun.
Gejala :
            Gejala-gejala ankylosing spondylitis berhubungan dengan peradangan dari spine, sendi-sendi tulang (joints), dan organ-organ lain. Kelelahan adalah gejala umum yang berkaitan dengan peradangan aktif. Peradangn spine menyebabkan nyeri dan kekakuan pada belakang bawah , area bokong atas, leher, dan sisanya spine. Timbulnya nyeri dan kekakuan biasanya secara berangsur-angsur dan memburuk secara progresif melalui waktu berbulan-bulan. Adakalanya, timbulnya sangat cepat dan hebat/keras. Gejala-gejala nyeri dan kekakuan adalah seringkali parah waktu pagi atau setelah periode-periode tidak aktif yang panjang. Nyeri dan kekakuan seringkali mereda dengan gerakan, panas, dan mandi hangat pada pagi hari. Karena ankylosing spondylitis seringkali mempengaruhi pasien-pasien masa remaja, timbulnya nyeri belakang bawah kadangkala disalahartikan sebagai luka-luka olahraga pada pasien-pasien yang lebih muda.
Diagnosis:
Diagnosis dari ankylosing spondylitis berdasarkan pada evaluasi gejala-gejala pasien, pemeriksaan fisik, penemuan-penemuan x-ray, dan tes-tes darah. Gejala-gejala termasuk nyeri dan kekakuan dari spine dan area-area sakrum pada pagi hari dengan atau tanpa diiringi peradangan pada sendi-sendi tulang, tendon-tendon, dan organ-organ lainnya. Gejala-gejala awal dari ankylosing spondylitis dapat sangat memperdayakan/menipu, karena kekakuan dan nyeri pada belakang bawah (low back) dapat terlihat pada banyak kondisi-kondisi lain. Ia dapat sangat sulit dipisahkan pada wanita-wanita, yang cenderung (namun tidak selalu) mempunyai keterlibatan spine yang lebih ringan. Tahun-tahun dapat belalu sebelum diagnosis ankylosing spondylitis bahkan dipertimbangkan.
Pemeriksaan dapat mempertunjukkan tanda-tanda peradangan dan pengurangan batasan dari gerakan tulang-tulang sendi. Ini dapat sangat jelas pada spine. Fleksibilitas dari belakang bawah (low back) dan/atau leher dapat dikurangi. Mungkin ada kelembutan dari tulang-tulang sendi sacroiliac dari bokong-bokong bagian atas. Ekspansi dari dada dengan bernapas penuh dapat dibatasi karena kekakuan dari dinding dada. Orang-orang yang dipengaruhi sangat berat dapat mempunyai suatu postur tubuh yang membungkuk. Peradangan mata dapat dievaluasi oleh dokter dengan ophthalmoscope.
Tanda-tanda yang lebih jauh pada diagnosis disarankan oleh kelainan-kelainan x-ray dari spine dan kehadiran dari tes darah untuk penanda genetik, gen HLA-B27. Tes-tes darah lain mungkin menyediakan bukti peradangan didalam tubuh. Contohnya, tes darah disebut angka sedimentasi adalah penanda nonspesifik untuk peradangan diseluruh tubuh dan sering meningkat dalam kondisi-kondisi seperti ankylosing spondylitis.
Analisa urin seringkali dilakukan untuk mencari kelainan-kelainan ginjal yang mengiringinya, begitu juga untuk mengeluarkan kondisi-kondisi ginjal yang mungkin menghasilkan nyeri belakang (back pain) yang meniru ankylosing spondylitis. Pasien-pasien juga dievaluasi secara simultan untuk gejala-gejala dan tanda-tanda dari spondyloarthropathies yang berkaitan lainnya, seperti psoriasis, penyakit kelamin atau dysentery (reactive arthritis atau penyakit Reiter), dan penyakit peradangan usus (ulcerative colitis atau penyakit Crohn).
Pengobatan
Pengobatan Medis :
Sesegeralah memulai pengobatan bila kita mendapati gejala-gejala yang mengarah pada arthritis.- Kenalilah tanda-tanda bahwa kita terkena arthritis, bila rasa nyeri, kaku, pegal linu tak hilang bahkan semakin menjadi dalam jangka waktu lama tanpa treatment, ini sudah merupakan sinyal-sinyal peringatan.
- Periksakanlah diri ke dokter umum untuk memastikan bahwa diri kita memang terkena arthritis. Mintalah cek urine-darah/lab. Dan mintalah surat pengantar ke dokter internis-rematologis untuk meneruskan pengobatan pada ahlinya setelah terbukti kita mengidap arthritis.
- Bila diperlukan kita dapat menerima bedah ortopedik untuk memperbaiki otot, tendon, ligament dan tulang serta sendi yang perlu diperbaiki.

- Fisioterapi khusus untuk mencegah memburuknya fungsi persendian dan untuk rehabilitasi.
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah, arthritis tidak dapat disembuhkan total, tetapi dapat dikontrol agar kerusakan yang terjadi menjadi lebih lamban, dan sakit yang ditimbulkan agar dapat diatasi. Oleh karena itu, mereka yang terkena arthritis diharapkan mengenali/mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai penyakit ini, mempersiapkan diri secara mental dan fisik serta lingkungan untuk dapat mempunyai kesabaran dan ketangguhan menghadapi rasa sakit dan stress akibat penyakit yang akan berada dalam tubuh selamanya dan perlu penanganan seumur hidup.
Pengobatanpun sangat bervariasi dari orang per-orang. Karena rasa nyeri dan sakit yang diderita saat arthritis menyerang, diperlukan strategi untuk mengendalikan rasa sakit ini, dari mengkonsumsi obat dokter, contohnya : (ibuprofen 1 tablet sehari/800 mg, naproxen 2 tablet perhari/500 mg, celebrex 1 tablet perhari/ 200 mg arthrotec 2 tablet perhari/75 mg, lodine LX 2 tablet per hari/400 mg) hingga menambah pengetahun diri mengenai arthritis, membuat support-group sesama penderita arthritis, menurunkan berat badan dan berolahraga, mengkonsumsi pengurang rasa sakit, seperti acetaminophen (panadol, excedrin, tylenol).
Beberapa obat arthritis yang bukan steroid : a.l: diclofenac potassium/cataflam, diclofenac sodium/voltaren, diclofenac sodium with misoprostol/arthotec, etodolac/lodine XL, ibuprofen/advil, motrin IB, ketoprofen/actron.
Dapat pula dioleskan salep/krim/lotion pengurang rasa sakit/analgesic pada bagian yang sakit/bengkak/meradang sesuai anjuran dokter atau petunjuk pemakaian.
Pengobatan Alternatif :
Selain pengobatan medis dokter, ada banyak alternatif pengobatan yang dapat digunakan untuk mengatasi rasa sakit, peradangan, pembengkakan sendi.
Sama dengan semua pengobatan arthritis, diperlukan kehati-hatian dan ketelitian serta lebih baik bila mengkonsultasikan dengan dokter sebelum memulai mengkonsumsi atau menggunakan pengobatan alternatif, untuk melindungi diri dan mendapatkan pengobatan yang wholistik dan saling mendukung. Pengobatan alternatif tersebut, a.l:
  1. Akupunktur
  2. Aloe : Lidah Buaya : gel/lotion pengurang rasa sakit
  3. Alpukat dan ASU (Soybean Unsaponifies) pil dosis 300 mg perhari
  4. Ayurveda
  5. Aromaterapi
  6. BVT (Bee Venom Therapy) Terapi Sengatan Lebah, sebaiknya tes alergi dahulu, karena yang positif alergi racun lebah reaksinya sangat fatal (kematian dalam waktu singkat)
  7. Biofeedback
  8. Metode relaksasi dengan berbagai teknik relaksasi untuk mengatasi rasa sakit. Bisa diperoleh melalui bag.fisioterapi rumah sakit.
  9. Boron, dosis 1-3 mg per-hari bisa melalui suplemen
  10. Boswellia, nama lainnya frankincense dosis 150mg per-hari
  11. Breathing Technique, latihan bernafas dalam dengan pernafasan perut
  12. Cartilage -building Substances, dari chondroitin sulfate dan glucosamine, meskipun belum ada bukti pasti akan khasiatnya.
  13. Chinese Medicine, terapi ki (reiki),tai chi dan qi gong di samping akupunktur terbukti dapat mengatasi arthritis.
  14. Chiropractic Medicine, meskipun dapat mengurasi rasa sakit pada beberapa kasus arthritis, sebaiknya mereka dengan ankylosing spondylitis, oeteoporosis dan rheumatoid arthritis menghindari treatment chiropractic.
  15. Chondroitin Sulfate, supplemen 600 mg per-hari dikonsumsi bersama glucosamine memerlukan waktu sebulan konsumsi sampai terlihat efeknya.
  16. Collagen
  17. Copper Bracelet/GelangTembaga, ini juga belum ada bukti secara ilmiah bahwa tembaga dapat mengurangi rasa sakit akibat arthritis.
  18. DMSO (Dimethyl Sulfoxide), DMSO adalah semacam larutan yang dipakai di industri, yang seperti turpentine dijual di toko kesehatan sebagai obat untuk arthritis. Ada yang mempercayai bahwa DMSO ini dapat mengurangi bengkak dan rasa sakit bila dioleskan di daerah yang meradang. Di Amerika DMSO ini tidak diizinkan oleh FDA untuk digunakan pada manusia. Apalagi DMSO yang dijual di toko bangunan besar kemungkinanya untuk mengandung zat beracun. Tidak dianjurkan oleh ahli arthritis untuk menggunakan DSMO.
  19. Evening Primrose Oil, 1.8 gr GLA (gamma-linolenic acid)per-hari
  20. Fish Oil, 3 gr EPA-DHA (eicosapennntaenoic acid-docosahexaenoic acid)
  21. Flaxseed, dosis 1-3 sdm flaxseed oil atau ¼ cup flaxseed.
  22. Green Tea, 3-4 cup sehari
  23. Herbal Remedies, baik secara Timur/Barat, sebaiknya dihindari saat ingin hamil atau sedang hamil karena akan berpengaruh pada perkembangan bayi.
  24. Homeopathy
  25. Hypnosis, terbukti membantu mengatasi rasa sakit dan mengurangi stress.
  26. Journal Writing, membantu penderita mengatasi rasa sakit dan stress.
  27. Kava, dosis 140-240 mg perhari
  28. Massage, sebelum pijat beritahu pemijat agar memberikan pijat lembut, karena pijat yang terlalu keras akan semakin memperparah arthritis. Jangan pijat bagian yang meradang, sakit atau mengalami pembengkakan.
  29. Meditasi, sangat bermanfaat bagi penderita untuk menghadapi penyakit, rasa sakit, dan stress.
  30. Muscle Relaxation (peregangan otot)
  31. Naturopathic Medicine, lebih memfokuskan pada perubahan ke gaya hidup sehat
  32. Osteophatic Medicine
  33. Prayer, sangat bermanfaat dalam penyembuhan
  34. Relaxation Techniques
  35. SAM /SAMe(S-adenosylmethionine) dosis 200-400 mg 3 x sehari.Daripada mengkonsumsi supplemen, lebih baik mendapat dari asupan brokoli, sayuran hijau, lettuce dan dibantu dengan Vit B (folic acid dan Vit. B 12)
  36. Urtica, 50 gr stewed urtica atau 1,340 gr urtica dioica bubuk.
  37. Kunyit, 400 mg 3x sehari
  38. Visualisasi
  39. Willow Bark Tea 10 cup=2 tablet aspirin
  40. Zinc Supplement, 50 mg perhari.
Pengobatan arthritis yang dikonsumsi oral kesemuanya mempunyai efek samping, sehingga diperlukan control dan monitoring ketat dari dokter. Jangan sembarangan mengkonsumsi obat, atau mengobati diri sendiri tanpa petunjuk dokter. Resiko dari mengkonsumsi obat arthritis yang tidak termonitor sangat besar, terutama dapat merusak organ-organ lain di dalam tubuh, seperti ginjal, hati dan empedu. Sedapat mungkin banyak meminum air putih ketika sedang mengkonsumsi obat arthritis dan berhenti mengkonsumsi sesuai petunjuk dokter.
Bila menambahkan obat alternatif, konsultasikan pula dengan dokter untuk memastikan bahwa obat yang diterima tidak mempunyai efek yang bertentangan dengan obat yang diperoleh dari dokter.
Satu-satunya cara untuk dapat mengkontrol arthritis, adalah mengubah gaya hidup menjadi gaya hidup sehat, yang aktif, mempunyai pola makan sehat dan olahraga teratur, pengetahuan yang cukup, konsultasi dokter dan membuat grup support.

MYASTHENIA GRAVIS
http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRb2GUAHDGDXOtIYCCa_cC80Erf2xWhx-aUMyMeBWRbbxjwOgFYrA http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS0UgTtshmptKspfmglkmyaiPhlMtovoVSUotFZZL1aOZQclP41 http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQXkculHkJXwFhSzBbvLOn1Wbh19KhDLVFUa1Huk05Wny5Zh0Awug
            Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh kelemahan dari otot wajah, orofaringeal, ekstraokuler dan otot anggota gerak. Kelemahan dari otot-otot wajah dapat menyebabkan kesukaran untuk tersenyum, mengunyah dan berbicara. Tanda utama dari penyakit ini adalah peningkatan kelemahan otot pada aktivitas otot yang berulang. Merupakan penyakit yang jarang dengan insiden 1 per 100.000, wanita dua kali lebih banyak dibanding pria.
Penyebabnya diduga karena serangan autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuro-muscular junction. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau receptor-decamethonium complex (anti-AchR) ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita Myasthenia gravis (MG).
            Abnormalitas thymus juga ditemukan pada sebagian besar penderita MG, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar dan 10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau epithelial. Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada masing-masing 35% dan 50%  penderita sehingga diduga MG berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada thymus dan motor endplate atau  abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.
Diagnosis:
            Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis dan prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek (endrophonium) 210 mg intravena maka kekuatan otot secara dramatis dapat dipulihkan. Tes lain yang lebih canggih dengan elektromyografi serabut tunggal dan pemeriksaan rangsangan saraf berulang.
Gejala:
Myasthenia gravis dapat mempengaruhi otot skeletal/rangka pada tubuh pasien myasthenia gravis. Tanda yang sangat jelas adalah kelemahan yang berarti ketika sedang beraktivitas dan membaik ketika sedang beristirahat. Gejala ini umumnya memburuk setelah latihan atau pada sore hari. Tidak semua gejala dialami semua pasien myasthenia gravis pada waktu yang sama.
Gejala Myasthenia gravis yang mungkin dialami pasien bisa adalah

1. Ocular Myasthenia Gravis
Gejala ini ditandai dengan penurunan kelopak mata (ptosis) dan penglihatan ganda atau diplopia
2. Generalised Myasthenia Gravis
Sebagai tambahan dari occular myasthenia gravis, pasien myasthenia gravis juga mungkin mengalami kelemahan dalam mengontrol ekspresi muka, menelan, mengunyah dan berbicara. Otot-otot anggota badan dan pernafasan kemungkinan juga mengalami kelemahan.
Awal mula gejala yang dialami pasien myasthenia gravis kemungkinan bertambah secara sedikit demi sedikit namun juga pasien myasthenia gravis dapat juga mengalami penurunan kemampuan bernafas dalam waktu yang cepat. Hal ini disebut dengan "Krisis Myasthenia" dan bila hal ini terjadi, pasien harus segera pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secepatnya.    


Pengobatan :
Hari ini, MG dapat dikontrol. Ada beberapa terapi yang tersedia untuk membantu mengurangi kelemahan otot. Kebanyakan orang dengan MG memiliki hasil yang baik dari perawatan. Pada beberapa orang MG, seperti banyak penyakit autoimun lainnya, mungkin pergi ke remisi (jangka waktu tanpa gejala) dan kelemahan otot mungkin hilang sepenuhnya.
Pengampunan atau perbaikan dapat terjadi tanpa perawatan di beberapa kasus. Menurut Asosiasi Muscular Dystrophy, hingga 20 persen orang dengan MG mungkin memiliki pengampunan sempurna gejala tanpa pengobatan, dan lain 20 persen dapat meningkatkan tanpa pengobatan. Perbaikan ini spontan lebih cenderung terjadi selama tahap awal MG.
Perawatan mg dapat mencakup:
  • Obat-obatan. Obat-obatan yang digunakan termasuk inhibitor cholinesteraseseperti neostigmine dan pyridostigmine. Obat ini membantu meningkatkan saraf sinyal untuk otot dan meningkatkan kekuatan otot. Immunosuppressive obat-obatan seperti prednisonecyclosporine, dan azatioprin juga dapat digunakan untuk menekan produksi antibodi yang abnormal. Mereka harus digunakan dengan hati-hati ikutan medis karena mereka dapat dikaitkan dengan efek samping yang besar.
  • Thymectomy, operasi pengangkatan dari kelenjar Timus (yang abnormal di kebanyakan orang dengan MG). Operasi ini dilakukan untuk orang-orang dengan MG yang memiliki tumor, serta individu tanpa tumor. Ini meningkatkan gejala di lebih dari setengah dari orang-orang tanpa tumor. Itu dapat menyembuhkan beberapa orang dengan MG, mungkin dengan kembali keseimbangan sistem kekebalan tubuh.
Terapi lain kadang-kadang digunakan untuk mengobati MG selama periode terutama sulit kelemahan meliputi:
  • Plasmapheresis atau plasma pertukaran. Ini adalah prosedur yang menghapus abnormal antibodi dari darah.
  • Globulin kebal intravena dosis tinggi. Perawatan ini sementara mengganggu kemampuan sistem imun untuk kerusakan saraf otot persimpangan. Pilihan pengobatan untuk orang dengan MG tergantung pada tingkat keparahan kelemahan, otot-otot yang terpengaruh, dan orang usia dan masalah kesehatan lainnya.
Dalam beberapa kasus, MG dapat menyebabkan kelemahan yang parah mengakibatkan kegagalan pernapasan akut. Tetapi kebanyakan orang dapat berharap untuk memimpin hidup normal atau hampir normal.

. SYSTEMIC SCLEROSIS
http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSpswTaER8aOXzqOEF1j2tr5p9DPNnskQX4vCPh6KwC6eJqII1- http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTKBMZROC25hSRf85xeLQn1ikp7LmD75OCdMjdQjEaHf2kNznTK
            Merupakan penyakit yang  jarang, dikenal pula dengan nama lain scleroderma, yang ditandai dengan fibrosis kulit, pembuluh darah dan organ viscera yang progresif. Prevalensi penyakit ini 1 : 10.000  dengan rasio wanita : pria 3 :1 pada kelompok umur 15 - 44 tahun. target utama dari penyakit ini adalah sel endotel, suatu faktor serum yang toksik terhadap endotel telah ditemukan pada beberapa penderita.
Penyebab scleroderma masih belum diketahui. Beberapa kasus scleroderma dihubung-hubungkan dengan adanya reaksi bahan kimia. Unsur-unsur lain yang bisa menyebabkan terjadinya scleroderma adalah keturunan, sel-sel rahim, dan virus.
            Gambaran klinisnya bervariasi dan morbiditas penyakit ini tergantung pada luasnya permukaan kulit dan organ dalam yang terkena. Sering ditemukan fenomena Raynauld khususnya pada pasien dengan sindroma CREST (calcinosis pada kulit, fenomena Raynauld, dismotilitas esofagus, sclerodactyly dan telangiectasis). Penderita dengan penyakit yang difus akan menampakkan gejala arthritis pembengkakan tangan dan jari serta penebalan kulit yang dimulai pada jari dan tangan   dan bisa meluas ke muka dan leher. Pada kelainan yang berat maka permukaan kulit yang terkena lebih luas dan terjadi deformitas pada tangan dan jari. Fenomena Raynauld dan kerusakan organ dalam yang terkena   menandakan adanya fibrosis arteriole dan arteri-arteri kecil, sehingga bila terjadi respons vasokonstriksi karena berbagai rangsangan seperti udara yang dingin akan menyebabkan obliterasi pembuluh darah yang komplit.
            Pada sebagian besar penderita ditemukan ANA (anti-nuclear antibody) namun anti-ANA tidak ditemukan, hampir setengah penderita  mempunyai serum cryoglobulin. Antibodi terhadap centromere ditemukan pada penderita dengan sindroma CREST namun tidak ditemukan pada kelainan yang difus.
Scleroderma tidak digolongkan sebagai penyakit menular. Ini berarti anda tidak akan tertular ketika berjabatan tangan, berpelukan, berciuman, berhubungan badan, kontak dengan darah atau cairan-cairan tubuh, memakai peralatan makan yang sama, atau lewat udara ketika batuk atau bersin. Dan penyakit ini sama sekali tidak menyebabkan kanker.
Ada dua jenis utama scleroderma, localized dan systemic.
Scleroderma systemic dapat mempengaruhi seluruh bagian tubuh (kulit, pembuluh darah, dan organ bagian dalam). Jenis ini juga sering disebut sebagai "systemic sclerosis" dan istilah-istilah lain seperti diffuse,limitedCREST, dan overlap.
Jenis localized itu morphea dan linear. Jenis ini hanya mempengaruhi kulit (dan kadang-kadang juga jaringan pokok) tetapi tidak mempengaruhi organ-organ bagian dalam, atau mengurangi harapan hidup seseorang.
Penyakit scleroderma pada anak-anak (localized ataupun systemic) biasanya disebut sebagai Childhood Scleroderma atau Juvenile Scleroderma.
Sampai saat ini, belum ada pengobatan atau perawatan yang telah terbukti menyembuhkan scleroderma. Bagaimanapun juga, ada beberapa terapi yang ampuh untuk menangani gejala-gejala scleroderma. Kebanyakan dari gejala yang terdaftar dalam situs ini adalah systemic scleroderma.
. RHEUMATOID ARTHRITIS
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ2OnqCY9REIFw2301jv8kImPh5AF1oBb-sGy9oALLx-NcwGKAg http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTF0Ft9bkPA1RWhronX08HerVQQp_kQkFYLqrF1VpuolKj6qi7I
Radang sendi atau artritis reumatoid (bahasa InggrisRheumatoid Arthritis, RA) merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang.
RA dapat mengakibatkan nyeri, kemerahan, bengkak dan panas di sekitar sendi. Berdasarkan studi, RA lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio kejadian 3 : 1.
Umumnya penyakit ini menyerang pada sendi-sendi bagian jari, pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Pada penderita stadium lanjut akan membuat si penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan kualitas hidupnya menurun. Gejala yang lain yaitu berupa demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah dan kurang darah. Namun kadang kala si penderita tidak merasakan gejalanya. Diperkirakan kasus Rheumatoid Arthritis diderita pada usia di atas 18 tahun dan berkisar 0,1% sampai dengan 0,3% dari jumlah penduduk Indonesia.
Gejala
Penderita RA selalu menunjukkan simtoma ritme sirkadia dari sistem kekebalan neuroindokrin.
RA umumnya ditandai dengan adanya beberapa gejala yang berlangsung selama minimal 6 minggu, yaitu :
  1. Kekakuan pada dan sekitar sendi yang berlangsung sekitar 30-60 menit di pagi hari
  2. Bengkak pada 3 atau lebih sendi pada saat yang bersamaan
  3. Bengkak dan nyeri umumnya terjadi pada sendi-sendi tangan
  4. Bengkak dan nyeri umumnya terjadi dengan pola yang simetris (nyeri pada sendi yang sama di kedua sisi tubuh) dan umumnya menyerang sendi pergelangan tangan
Pada tahap yang lebih lanjut, RA dapat dikarakterisasi juga dengan adanya nodul-nodul rheumatoid, konsentrasi rheumatoid factor (RF) yang abnormal dan perubahan radiografi yang meliputi erosi tulang.
Pengobatan:
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.
Riwayat Penyakit alamiah
Riwayat penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan saat ini, sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan dapat mempertahankannya dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun waktu tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan selama itu. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sukar mempertahankan ketaatannya untuk terus berobat dalam jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid. Khasiat DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbulnya penyakit lain yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil dijumpai obat yang bersifat sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).

Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan cara:
· Mengurangi rasa nyeri
· Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
· Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
· Mencegah terjadinya deformitas
· Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
· Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
Daftar Pustaka
§  med.unhas.ac.id/obgin/datanya/.../PENYAKIT%20AUTOIMUN.doc
http://painkillerclinic.wordpress.com/2012/01/23/penanganan-dan-obat-rematoid-artritis/
  
SEKIAN hehehheheheh
ini tugas lumayan ribet lah nyari nya karena itu gw bagi ke anda2 yg membutuhkan ehheheh semoga bermanfaat